Dengan menikah, mungkin kebebasan kita untuk bergaul dengan teman-teman sepermainan akan berkurang. Waktu untuk melakukan hobi dan kesenangan juga tidak akan sebanyak dahulu saat sebelum menikah. Semua waktu dan tenaga tentu akan lebih banyak tercurah untuk keluarga. Apalagi saat sudah memiliki bayi. Seolah semua waktu tercurah hanya untuk mengurus bayi. Dan sedikit sekali yang tersisa untuk diri sendiri.
Inilah sedikit dari potret kehidupan
pasca menikah. Seringkali ketika belum menikah, orang mudah untuk menyatakan
kesiapan berumah tangga. Akan tetapi banyak yang malah mendadak tak siap ketika
dihadapkan dengan kenyataan hidup pasca menikah. Bahkan lidah seolah kelu untuk
berkata dan kaki serasa lumpuh untuk berjalan, karena sedemikian beratnya dalam
menjalani lika-liku pernikahan.
Banyak istri mengeluh suami tak peduli.
Hanya sibuk dengan kegiatannya sendiri. Sementara istri letih mengurus bayi dan
pernak-pernik rumah tangga, suami malah asyik kongkow bersama teman-temannya.
Lain lagi dengan keluhan suami yang istrinya aktivis medsos (media sosial_red).
Setiap hari sepulang berpeluh-peluh mencari nafkah, tiada sambutan penuh kehangatan
dari istri yang diharapkan. Alih-alih mendapat secangkir teh manis hangat,
sapaan pun tiada terucap dari lubuk hati. Hanya sekedar lip service.
“Ooohh papa sudah pulang?” Sementara mata tetap tertuju ke layar kecil di
genggaman.
Jika kejadian yang seperti ini terus
terulang. Apalah arti dari sebuah pernikahan. Yang ada tinggal menunggu
kehancuran. Oleh karenanya, semua harus kembali ke langkah awal. Meski
kehidupan tidak memiliki tombol pause untuk off sejenak.
Namun, bukan berarti semua mesti dibiarkan mengalir tanpa upaya perbaikan.
Kembali ke garis awal, renungi kembali
hal-hal dibawah ini:
1.
Sebenarnya
untuk apa kita menikah? Visi apa yang ingin kita capai bersama? Bagaimana
langkah kita untuk mencapai visi itu? Buat waktu khusus, tetapkan visi dan misi
keluarga bersama!
2.
Ingat
yang sudah saya beri bukan yang sudah ia beri! Ingat yang sudah saya lakukan
bukan yang sudah ia lakukan! Jika ingin diberi tentu harus lebih dulu memberi.
Jika ingin dihargai maka harus mulai menghargai dan memberi apresiasi. Jika
ingin dicintai maka mulailah mencintai.
3.
Renungi!
Sudahkah diri ini menjadi pribadi yang dewasa? Kedewasaan bukanlah dikarenakan
faktor usia, namun kedewasaan seseorang dapat dilihat dari cara dia berpikir
dan bertindak.
4.
Tentukan
prioritas berdasarkan timbangan syariat. Mana yang lebih utama dari yang utama
sesuai syariat? Apakah berkumpul dengan teman-teman lebih utama daripada
menemani istri dan anak-anak di rumah? Ataukah berselancar di media sosial
lebih penting dari berinteraksi dengan keluarga?
Kata orang hidup adalah pilihan. Mau
menjalani kehidupan pernikahan di dunia yang bahagia atau biasa-biasa saja itu
pilihan. Akan tetapi, tujuan meraih kebahagiaan di akhirat itu adalah pilihan
mutlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar