Aceh
merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di ujung utara
Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat Indonesia. Dalam
masyarakat Aceh, mempunyai berbagai macam adat, baik yang tertulis maupun
yang tak tertulis. Adat merupakan gagasan kebudayan yang terdiri dari
nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan dan hukum adat yang mengatur
tingkah laku manusia antara satu sama lain, yang lazim dilakukan di dalam suatu
kelompok masyarakat.
Adat dan
budaya Aceh memang sangat unik serta beragam, setiap tradisinya menyimpan
makna dan filosofis tersendiri. Salah satu yang masih dipertahankan dan
dijunjung tinggi adalah budaya pada prosesi pernikahan adat. Seperti juga
dengan suku yang lainnya, calon pengantin Aceh diharuskan mengikuti
serangkaian adat menjelang hari pernikahan.
Rangkaian
prosesi upacara pernikahan adat Aceh terdiri dari beberapa tahap sebagai
berikut;
1.
Jak ba ranup ( antar sirih )
Jak ba
ranup merupakan prosesi paling awal sebelum pernikahan. Tujuannya adalah
meminang dan mendapat kesepakatan dari kedua keluarga. Jak ba ranup
disebut juga lamaran, yang dimulai ketika pihak mempelai pria membawa seserahan
berupa sirih, kue, dan lain-lain. Prosesi ini akan berlanjut ketika calon
mempelai wanita yang diberi kesempatan menjawab, bahwa ia bersedia untuk
menikah dengan calon mempelai pria.
2.
Jak ba tanda ( antar tanda)
Jak ba
tanda sama artinya dengan bertunangan, dan merupakan kelanjutan dari
meminang. Pada prosesi ini keluarga calon pengantin pria datang lagi ke
kediaman calon mempelai wanita sembari membahas pernikahan, jumlah mahar, waktu
pelaksanaan pernikahan, serta jumlah tamu undangan. Selain itu calon
mempelai pria membawa seserahan berupa ketan kuning, buah-buahan, seperangkat
pakaian, dan perhiasan sesuai kemampuan keluarga pria. Menurut Arby,
(1980:6), dalam bukunya yang berjudul Upacara Perkawinan Adat Aceh, menjelaskan
maksud dari upacara tersebut yaitu:
“Untuk
memperkuat tanda jadi, biasanya calon mempelai pria membawa sirih lengkap,
dengan macam-macam bahan makanan kaleng, seperangkat pakaian yang dinamakan
lapek tanda dan perhiasan dari emas sesuai kemampuan calon mempelai pria.”
3.
Boh gaca (memakai inai) / malam inai
Malam inai
atau malam boh gaca adalah malam menjelang pesta pernikahan yang terdiri dari
upacara peusijuek (pemberian tepung tawar) kepada dara baroe dan peusijuek
gaca, serta batee meupeh (batu giling yang berarti memberi dan menerima
restu serta mengharapkan keselamatan. Prosesi ini diadakan dengan harapan untuk
mendapatkan kebahagiaan pada kedua mempelai dan dimudahkan rezekinya. Acara boh
gaca biasanya dilaksanakan sampai tiga malam berturut-turut.
4.
Ijab Kabul
Upacara
adat nikah ijab Kabul merupakan syarat mutlak sahnya perkawinan menurut
agama Islam. Sebelum akad nikah dilakukan, teungku kadhi menanyakan keadaan
calon kedua mempelai, apakah keduanya sudah bersedia untuk menikah. Serta
pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut soal rumah tangga dan peribadatan.
Sebelum akad nikah di mulai, Tengku Kadhi sebagai petugas Kuakec, beserta ahli
waris pihak laki-laki, memeriksa mahar/jeulamee (maskawin), yang diserahkan
oleh yang mewakili, yaitu orang tua ahli waris pihak mempelai pria. Bersama
mahar (jeulamee), diserahkan bermacam bawaan baik berupa pakaian, makanan,
maupun alat-alat kosmetik lainnya, yang dibungkus rapi dalam talam bertutup
seuhap(kain penutup motif aceh).
Biasanya
lafaz nikah dilaksanakan dalam bahasa Aceh “ulon tuan peu nikah aneuk lon
(apabila ayah perempuan yang menikahkan)….(nama mempelai wanita), ngon gata
….(nama mempelai pria), ngon meuh…..(jumlah mahar yang telah di sepakati). Dan
mempelai pria menjawab dengan jawaban : “ ulon teurimong nikah ngon kawennya
…(nama mempelai wanita), ngon meuh …. (jumlah mahar) mayam, tunai.
Ada beberapa lafaz yang disepakati dan berbeda-beda, disesuaikan dengan
kesepakatan dan adat istiadat setempat.
5.
Tueng Linto Baroe/woe Linto
Prosesi
ini merupakan salah satu upacara yang paling dinantikan, karena merupakan acara
puncak penyambutan linto baroe, dan diantar ke rumah dara baroe. Menurut Arby
(1989 :16) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul upacara perkawinan adat
Aceh, maksud dari upacara ini adalah sebagai berikut:
“Dalam
upacara ini mempelai wanita sudah dirias dan memakai busana adat Aceh lengkap
dengan sanggul dan cak cengnya (sunting). Sebelum bersanding, mempelai
wanita dibimbing menghadap kedua orang tua untuk melakukan sungkem kepada kedua
orang tua, kemudian baru di dudukkan di pelaminan menunggu mempelai pria dan
rombongan tiba. Begitu juga dengan linto baroe, setelah berpakaian lengkap
melakukan sungkem kepada kedua orang tua untuk mendapatkan restu barulah
berangkat ke rumah mempelai wanita”.
Mempelai
pria dan rombongan dipersilahkan masuk dan diserahkan kepada orang tua adat
dari pihak wanita. Lalu mempelai pria di payungi dua orang tetua adat
dari pihak wanita, dan selanjutnya dibimbing untuk rah gaki (membasuh kaki).
Hal ini merupakan perlambang bahwa untuk memasuki rumah tangga harus dalam
keadaan suci lahir dan batin.
Mempelai
wanita yang duduk menanti mempelai pria kemudian dibimbing untuk menyambut
mempelai pria dengan melakukan seumah (sungkem) kepada mempelai pria, sebagai
tanda hormat dan penuh pengabdian. Dalam upacara penyambutan linto baroe,
biasanya diiringi dengan tarian ranup lampuan (tarian penyambutan tamu dalam
adat masyarakat Aceh) dan berbalas pantun.
6.
Tueng dara baroe (mengundang mempelai wanita)
Upacara
tueng dara baro merupakan prosesi mengundang mempelai wanita beserta rombongan
ke rumah mertua (orang tua linto baroe). Upacara ini biasanya dilaksanakan pada
hari ke tujuh setelah upacara woe linto. Pada upacara ini dara baroe di
iringi satu atau dua orang tua adat, dan membawa kue-kue khas Aceh yang
ditempatkan dalam talam/dalong yang telah di hiasi dan ditutup dengan seuhap
(kain penutup sange/tudung saji yang disulam dengan benang emas/kasab.
Tiba di
gerbang, dara baroe di sambut dengan taburan breuh padee (beras padi), bunga
rampai (bungong rampoe) dan on seuneujeuk (daun untuk tepung tawar).
Pada
prosesi ini, penyambutannya sama dengan upacara woe linto, hanya pada acara
tueng dara baroe ini tidak ada balas pantun dan cuci kaki.
Itulah
beberapa rangkaian prosesi adat pernikahan dalam masyarakat Aceh yang sarat
makna dan filosofis. Semoga prosesi ini dapat terus di lestarikan oleh
generasi selanjutnya, sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur yang
sudah dilaksanakan secara turun temurun.
Sumber: maa.acehprov.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar